KEHIDUPAN
Kehidupan bagaikan roda berputar
Berarus-arus memecah keramaian
Rakyat dan pemerintahan
Status dan derajat yang membedakan
Penderitaan rakyat bagaikan angin lalu
Jerit kelaparan, susahnya kehidupan
Pejabat yang memakan uang rakyat
Tak peduli, akan perihnya kehidupan
Selasa, 27 Januari 2015
puisi galau
LAUT
Berdiri aku di tepi pantai
Memandang lepas ke tengah laut
Ombak pulang memecah berderai
Keribaan pasir rindu berpaut
Ombak datang bergulung-gulung
Balik kembali ke tengah segara
Aku takjub berdiri termenung
Beginilah rupanya permainan masa
Hatiku juga seperti dia
Bergelombang-gelombang memecah pantai
Arus suka beralih duka
Payah mendapat perasaan damai
Senin, 26 Januari 2015
puisi salju
SALJU
Kemanakah pergi
Mencari matahari
Ketika salju turu
Pepohonan kehilangan daun
Kemanakah jalan
Mencari lingkungan
Ketika tubuh kuyup
Dan pintu tertutup
Kamis, 15 Januari 2015
TRAGEDI WINKA & SIHKA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Sutardji Calzoum Bachri
Analisis Puisi kontemporer “Tragedi Winka dan Sihka”
Dalam sajak itu kata kawin dideretkan lima kali secara utuh, yang artinya bahwa suatu perkawinan entah lima tahun, lima bulan, lima minggu, atau lima hari masih utuh seperti semula, yaitu kebahagiaan. Kemudian kata kawin diputus-putus, yang berarti perkawinan yang diliputi kebahagiaan itu sudah tidak utuh lagi. Misalnya mulai ada pertengkaran antara suami istri. Bahkan, kata kawin sekarang terbalik menjadi winka. Yang berarti perkawinannya sudah menjadi "neraka". Pada akhirnya terjadi tragedi winka dan sihka itu, misalnya terjadi perceraian, istri membunuh suami atau sebaliknya.
Tipografi zig-zig juga mempunyai makna mendalam, yaitu perkawinan yang semula bermakna kebahagiaan, mulai melewati bahaya yang berliku, penuh bahaya, yang akhirnya menimbulkan bencana, yaitu tragedi.
Analisis Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”
Puisi karya Chairil Anwar yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” mengisahkan rasa duka. Untuk menyatakan rasa duka tersebut, penyair mewakilkannya pada benda-benda yang ada di alam. Berikut analisis realitas dalam puisi itu:
Bait I
Menceritakan cinta yang sudah tidak dapat diperoleh lagi. Penyair melukiskan keadaan batinnya dengan kata gudang, rumah tua, cerita tiang serta temali, kapal, dan perahu yang tiada bertaut. Benda-benda tersebut mengungkapkan perasaan sedih dan sepi. Penyair merasa bahwa benda-benda di pelabuhan itu membisu kepadanya. Hal ini diungkapkan dalam kalimat, “mengembus diri dalam mempercaya mau berpaut”
Bait II
Menceritakan tentang keadaan batin penyair yang terfokus pada suasana pelabuhan, tidak lagi pada benda-benda di pelabuhan yang beraneka ragam. Di pelabuhan itu, turun gerimis yang mempercepat kelam (menambah kesedihan penyair), dan ada kelopak elang yang menyingung muram (membuat hati penyair lebih muram), dan desir hari lari berenang (Kegembiraan telah musnah). Suasana di pantai itu, suatu saat, membuat hati penyair dipenuhi harapan untuk terhibur (menemu bujuk pangkal akanan), tetapi ternyata suasana pantai itu kemudian berubah. Harapan mendapatkan hiburan itu musnah, sebab kini tanah, air tidur, hilang ombak. Bagaimana jika laut kehilangan ombak? Seperti manusia yang kehilangan harapan akan kebahagiaan. Bait ini mempertegas suasana kedukaan penyair.
Bait III
Menceritakan tentang pikiran penyair yang lebih dipusatkan kepada dririnya sendiri. Perhatian pun lagi-lagi di fokuskan pada benda-benda di alam: pantai dan benda-benda sekeliling pantai itu. Dia merasa aku sendiri. Tidak ada lagi yang diharapkan akan memberikan hiburan dalam kesendirian dan kedukaannya itu. Dalam kesendiriannya itu, ia menyisir semenanjung. Awalnya ia berjalan dengan dipenuhi harapan. Namun sesampainya diujung, sekalian selamat jalan. Jadi setelah penyair mencapai ujung tujuan, ternyata orang yang diharapkan akan menghiburnya itu malah mengucapkan selamat jalan. Penyair merasa bahwa sama sekali tidak ada harapan untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, dalam kesendirian dan kedukaannya, penyair merasakan dari pantai keempat sedu penghabisan bisa terdekap. Betapa mendalam rasa sedihnya itu; ternyata dari pantai keempat, sedu-sedan tangisnya dapat dirasakan.
Dengan mewakilkannya pada benda dan kondisi alam yang ada disekitar pantai, penyair menyatakan dukanya yang mendalam karna cinta.
Perbedaan puisi kontemporer dengan puisi lama (Puisi “tragedi winka dan sihka” dengan puisi “senja di pelabuhan kecil”)
Dilihat dari bentuk tipografinya, kedua puisi tersebut sangatlah berbeda. Puisi chairil anwar menekankan pada kata-kata/ penulisan diksinya, sedangkan pada puisi kontemporer menyeimbangkan antara diksi dan bentuk tipografinya.
Puisi lama masih terikat oleh syarat-syarat tertentu, syarat-syarat tersebut antara lain;
Rima akhir atau sajak, yaitu persamaan bunyi di akhir baris,
Pada puisi “Senja di pelabuhan kecil”, terdapat sajak aabb, aabb, dan abab. Menandakan bahwa puisi tersebut masih terikat oleh syarat-syarat penulisan puisi
Larik atau baris, yaitu banyaknya baris pada setiap bait,
Banyaknya baris pada bait masih ditentukan.
Langganan:
Postingan (Atom)